PENGERTIAN JUAL-BELI

Minggu, 08 Juni 2014

BAB I
PENDAHULUAN

            Jual beli merupakan aktivitas yang dilakukan manusia umumnya dalam perekonomian baik itu sebagai produsen ataupun konsumen, dalam islam istilah tersebut sering kita kenal dengan muamalah artinya semua aktivitas yang lebih baik dilakukan dengan manusia lainnya atau lebih bersifat dengan keduniawian, meskipun lebih bersifat keduniawian kita tidak boleh menyimpang dari aturan syara’, sebab semua aktivitas manusia kelak akan dimintai pertanggung jawabannya. Begitu pula dalam hal jual beli.
            Dalam bertransaksi jual beli di semua kegiatan berekonomi tentunya tidak akan terlepas dari sebuah penawaran, baik yang dilakukan oleh penjual atau pembeli, dalam islam disebut dengan istilah khiyar artinya tawar menawar. Pada makalah ini penyusun akan coba membahas mengenai tawar menawar yang kami beri judul KHIYAR DALAM PANDANGAN ISLAM, serta kedudukannya.

  
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian

Sebelum membahas lebih dalam tentang jual beli, ada baiknya diketahui terlebih dahulu pengertian jual beli. Secara Etimologis: jual beli berasal dari bahasa arab Al-bai’ yang makna dasarnya menjual, mengganti dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.

Sedangkan secara Terminologis, para ulama’ memberikan definisi yang berbeda. Di kalangan Ulama’ Hanafi terdapat dua definsi; jual beli adalah:
-          Saling menukar harta dengan harta melalui cara tertentu
-          Tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.

Ulama’ Madzhab Maliki, Syafi’I dan Hanbali memberikan pengertian, jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan”. Definisi ini menekankan pada aspek milik pemilikan, untuk membedakan tukar menukar harta/barang yang tidak mempunyai akibat milik kepemilikan, seprti sewa menyewa. Demikian juga, harta yang dimaksud adalah harta dalam pengertian luas, bias barang dan bias uang.[1]

B.     Dasar Hukum

1.      Islam memandang jual beli merupakan sarana tolong menolong antar sesama manusia. Orang yang sedang melakukan transaksi jual beli tidak dilihat sebagai orang yang sedang mencari keuntungan semata, akan tetapi juga dipandang sebagai orang yang sedang membantu saudaranya. Bagi penjual, ia sedang memenuhi kebutuhan barang yang dibutuhkan pembeli. Sedangkan bagi pembeli, ia sedang memenuhi kebutuhan akan keuntungan yang sedang dicari oleh penjual. Atas dasar inilah aktifitas jual beli merupakan aktifitas mulia, dan Islam memperkenankannya.
2.      QS: al-Baqarah: 275

وآحل الله البيع وحرم الربا
                        Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.[2]

C.    Rukun Dan Syarat Jual Beli

Jual beli memiliki beberapa hal yang harus ada terlebih dahuluagar akadnya dianggap syah dan mengikat. Beberapa hal tersebut kemudian disebut rukun jual beli. Ia adalah penyangga bagi terjadinya jual beli.

Jumhur Ulama’ menetapkan rukun jual beli ada 4 yaitu:
1.      Orang yang berakad (penjual dan pembeli)
2.      Shigat (lafal ijab qabul)
3.      Barang yang dibeli
4.      Nilai tukar pengganti barang.[3]

Jual beli dianggap sah jika memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut ada yang berkaitan dengan orang yang melakukan akad, obyek akad maupun shighatnya. Secara terperinci syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Syarat yang berkaitan dengan pihak-pihak pelaku; mereka harus memiliki kompetensi dalam melakukan aktifitas itu, yakni sudah akil-baligh serta berkemampuan memilih. Maka tidak sah transaksi jual beli yang dilakukan anak kecil yang belum nalar, orang gila atau orang yang dipaksa.
2.      Syarat yang berkaitan dengan obyek jual beli; obyek jual beli harus suci, bermanfaat, bias diserah terimakan dan merupakan milik penuh penjual. Maka tidak sah memperjual belikan bangkai, darah daging babi dan barang lain yang menurut syara’ tidak ada manfaatnya. Juga tidak sah memperjual belikan barang yang masih belum berada dalam kekuasaan penjual, barang yang tidak mampu diserahkan dan barang yang berada di tangan seseorang yang tidak memilikinya.
3.      Syarat yang berkaitan dengan shighat akad, yaitu ijab dan qabul dilakukan dalam satu majlis, artinya antar penjual dan pembeli hadir dalam satu ruang yang sama, qabul sesuai dengan ijab, contoh aku jual baju ini 10 ribu, pembeli menjawab: saya beli baju ini 10 ribu.[4]

Ulama’ fiqih kontemporer, seperti Mustafa Ahmad Az-Zarqa’ dan Wahbah Zuhaily berpendapat bahwa satu majlis tidak harus diartikan hadir dalam satu tempat, tetapi satu situasi dan satu kondisi, meskipun antara keduanya berjauhan, tetapi membicarakan obyek yang sama.

Madzhab Syafi’i; Bai al-mu’athah hukumnay tidak sah, karena jual beli harus dilakukan melalui ijab dan qabul dengan kalimat yang jelas atau sindiran. Menurutnya unsur utama jual beli adalah kerelaan yang amat tersembunyi dalam hati, dan harus dilahirkan dengan melalui kalimat ijab qabul.

D.    Pembagian Jual Beli

Jual beli dapat dibagi menjadi beberapa macam sesuai dengan sudut pandang yang berbeda. Secara lebih rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:[5]
1.      Jual beli dilihat dari sisi obyek dagangan, dibagi menjadi :
a.       Jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang. Jual beli sebagaimana dilakukan layaknya masyarakat umum disekeliling kita.
b.      Jual beli ash sharf; yaitu penukaran uang dengan uang. Saat ini seperti yang dipraktekkan dalam penukaran mata uang asing.
c.       Jual beli muqabadlah; jual beli barter, jual beli dengan menukarkan barang dengan barang.
2.      jual beli dilihat dari sisi cara pembayarannya dibagi menjadi:
a.       Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran secara langsung.
b.      Jual beli dengan penyerahan barang tertunda.
c.       Jual beli dengan pembayaran tertunda.
d.      Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-sama tertunda.

E.     Hak Khiyar Dalam Jual Beli

1.      Pengertian
Secara lughawi Khiyar ­­­­– pilihan; sedangkan secara istilah pengertian Khiyar: hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi jual beli untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati, disebabkan hal-hal tertentu yang membuat masing-masing atau salah satu pihak melakukan pilihan tersebut. Pilihan ini dapat dilakukan dalam berbagai macam sebab dan keadaan yang berbeda-beda.

Hak Khiyar disyariatkan untuk menjamin kebebasan, keadilan dan kemaslahatan bagi masing-masing pihak yang sedang melaksanakan transkasi. Sehingga hak Khiyar merupakan ruang yang ditawarkan oleh fiqih muamalah untuk berfikir ulang, merenung dan saling mengkoreksi antara pihak terkait dengan obyek dan transaksi yang telah mereka lakukan. Dengan hak Khiyar ini para pihak diharapkan terhindar dari munculnya rasa penyesalan setelah transaksi selesai dilakukan.[6]

2.      Dasar Hukum Khiyar
البيعان بالخيار مالم يتفرقا فان صدقا وبينا بورك لهم فى بيعهما وان كذبا و كتما محقت بركة بيعهما
            Artinya: Dua orang yang sedang melakukan transaksi jual beli ada hak Khiyar selama keduanya belum pisah. Jika mereka jujur dan terbuka, maka jual beli mereka akan diberkahi, dan jika keduanya saling mendustai dan tidak terbuka maka jual beli mereka akan ditutup barakahnya.

قال رسول الله صل الله عليه و سلم كل بيعين لا بيع بينهما حتى يتفرقا الا بيع الخيار
            Rasulullah SAW bersabda tidak dikatakan ada jual beli antara dua orang yang bertransaksi jual beli sampai mereka berpisah kecuali jual beli Khiyar (jual beli yang dilakukan dengan memberikan hak pilih kepada masing-masing pihak).

            Dua hadits diatas menunjukan  adanya hak Khiyar bagi orang yang  sedang melakukan transaksi jual beli.[7]
3.      Macam-macam Khiyar
a.       Khiyar Syarat; adalah hak pilih yang ditetapkan bagi salah satu pihak yang berakad atau keduanya untuk meneruskan atau membatalkan jual beli, selama tenggat waktu yang ditentukan.[8]
b.      Khiyar Ta’yin: hak pilih bagi pembeli dalam menentukan barang yang berbeda kualitas dalam jual beli. Terkadang obyek jual beli memiliki kualitas yang berbeda, sedangkan pembeli tidak mampu mengidentifikasi kualitas tersebut.[9]
c.       Khiyar Aib; adalah hak untuk membatalkan atau melangsungkan jual beli bagi kedua belah pihak yang berakad apabila terdapat suatu cacat pada obyek yang diperjual belikan, dan cacat tersebut tidak diketahui pemiliknya ketika akad berlangsung.[10]
d.      Khiyar Ru’yah: hak pilih bagi pembeli untuk menyatakan berlangsung atau batalnya jual beli yang dilakukannya terhadap suatu obyek yang belum dilihatnya ketika akad berlangsung.[11]
e.       Khiyar Majlis; hak pilih bagi kedua belah pihak yang berakad untuk membatalkan atau melangsungkan akad, selama keduanya masih berada dalam satu majlis dan belum pisah badan/tempat.[12]

F.     Akad Salam (Jual Beli Dengan Pembayaran Di Muka)

a.      Definisi

Adalah penjualan barang dengan menyebut sifat-sifatnya, sedangkan barang masih dalam tanggungan penjual. Dengan kata lain, akad salam adalah akad pesanan dengan pembayaran didepan dan dan barang diserahkan dikemudian hari. Akad salam ini dianggap sah dalam syara’ dengan rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Akad ini merupakan salah satu model akad jual beli dengan kesepakatan pembayaran dan penyerahan barang tertentu sesuai dengan kesepakatan.[13]
b.      Dasar Hukum

Kebolehan akad salam didasarkan pada al-Qur’an:[14]
يا آيها الذين امنوا اذا تداينتم بدين الى اجل مسمى فاكتبوه
            Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
           
            Ayat diatas sebenarnya bebicara tentang jual beli dengan pembayaran tangguh. Akan tetapi, beberapa hadits menunjukkan bahwa ayat tersebut juga dipakai untuk landasan kebolehan akad salam. Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut dengan transaksi bai’ al-salam.

            Hadits Rasulullah SAW yang menjadi landasan akad salam diantaranya:
قدم النبي صل الله عليه وسلم المدينة وهم يسلفون بالتمر السنتين و الثلاث فقال من آسلف فى شئ ففي كيل معلوم ووزن معلوم الى اجل معلوم
            (Suatu saat) Rasulullah dating di Madinah, di sana para penduduk Madinah sudah mempraktekkan salam pada kurma yang berumur dua tahun atau tiga tahun. Maka Rasulullah berkata, “Barang siapa yang melakukan (salaf) salam hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas untuk jangka waktu yang diketahui.

c.       Rukun Salam

1.      Muslim (Pembeli/Pemesan)
2.      Muslam ilaih (Penjual/Penerima pesanan)
3.      Muslam fih (barang yang dipesan)
4.      Ra’s al-mal (harga pesanan/modal yang dibayarkan)
5.      Shighat ijab qabul (ucapan serah terima).[15]

d.      Syarat Salam

Secara umum persyaratan dalam akad salam tidak berbeda dengan akad jual beli pada umumnya, yaitu: barang yang dipesan adalah milik penuh muslam ilaih, bukan barang najis dan bias diserah terimakan. Akan tetapi dalam akad salam, tidak ada persyaratan bagi muslim (pemesan) untuk melihat barang yang dipesan. Ia hanya disyaratkan untuk menentukan sifat-sifat barang pesanan tersebut secara jelas.[16]
Sedangkan persyaratan secara rinci dapat dilihat dari ruku-rukun salam.

1.      Syarat Aqidain: Muslim (Pembeli/Pemesan) dan Syarat Muslam ilaih (Penjual/Penerima pesanan)
a.       Harus cakap hokum
b.      Suka rela, tidak dalam keadaan dipaksa/terpaksa/di bawah tekanan
2.      Syarat Ra’s al-mal (dana yang dibayarkan)
a.       Hokum awal mengenai pembayaran adalah bahwa ia harus dalam bentuk uang tunai
b.      Modal harus diserahkan pada saat akad (tunai); Modal dalam bentuk hutang tidak diperbolehkan karena akan mengakibatkan jual beli hutang dengan hutang. Demikian pula, pembayaran salam tidak boleh berbentuk pembebasan hutang yang harus dibayar oleh muslam ilaih (Penjual/Penerima pesanan). Hal ini adalah untuk mencegah praktek riba melalui mekanisme salam.
3.      Syarat Muslam fih (barang yang dipesan)
a.       Ditentukan dengan sifat-sifat tertentu, jenis, kualitas dan jumlahnya.
b.      Harus bisa diidentifikasi secara jelas untuk mengurangi kesalahan akibat kurangnya pengetahuan tentang macam barang tersebut, tentang klasifikasi kualitas serta mengenai jumlahnya.
c.       Penyerahan barang dilakukan di kemudian hari.
d.      Tempat penyerahan barang harus disepakati oleh pihak-pihak yang berakad/
e.       Satu jenis (tidak bercampur dengan jenis yang lain)
f.       Barang yang sah diperjualbelikan.
4.      Syarat Ijab Qabul
a.       Harus jelas disebutkan secara spesifik dengan siapa berakad
b.      Antara ijab dan qabul harus selaras baik dalam spesifikasi barang maupun harga yang disepakati.
c.       Akad harus pasti, tidak boleh ada Khiyar syarat.

  
BAB III
PENUTUP

                        Kesimpulan
a.       Khiyar ialah mencari kebaikan dari dua perkara, melangsungkan atau membatalkan jual beli.
b.      Macam-macam khiyar ada tiga yaitu, Khiyar Syarat, Khiyar Ta’yin Khiyar Aib, Khiyar Ru’yah, Khiyar Majlis.
c.       Salam adalah “menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu (barang) yang cirri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih awal, sedangkan barangnya diserahkan kemudian hari.
d.      Dalam salam memiliki syarat dan rukun yang harus atau wajib dipenuhi sebagaimana yang telah disampaikan.

  
DAFTAR PUSTAKA

M. Yazid Afandi, M. Ag., Fiqih Muamalah. Yogyakarta: Logung Pustaka 2009.




[1] M. Yazid Afandi, M. Ag. Fiqh Muamalah, Logung Pustaka, Yogyakarta,  2009, hlm. 53.
[2] Id. at 54.
[3] Id. at 57.
[4] Id. at 58.
[5] Id. at 60.
[6] Id. at 75.
[7] Id. at 76.
[8] Id. at 77.
[9] Id. at 78.
[10] Id. at 79.
[11] Id. at 81.
[12] Id. at 82.
[13] Id. at 159.
[14] Ibid.
[15] Id. at 161.
[16] Id. at 162.

1 komentar:

shiro-chan mengatakan...

hai, numpang promosi
yuuk kunjungi blog saya, saling berbagi pengetahuan ilmuilmu yang dipelajari di sekolah
https://ilmuusekolah.blogspot.com/2020/06/rukun-dan-syarat-jual-beli.html
https://ilmuusekolah.blogspot.com

Posting Komentar

Translate

Powered By Blogger

Penanyang Q :)