BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu
objek penting lainya dalam kajian ‘Ulumul Qur’an’ adalah perbincangan mengenai mukjizat.
Persoalan mukjizat, terutama mukjizat Al-Qur’an , sempat menyeret
para teolog klasik dalam perdebatan yang berkepenjangan, terutama antara teolog
dari kalangan Mu’tazilah dan para teolog dari kalangan Ahlussunnah
mengenai konsep shirfah.
Dengan
perantara mukjizat, Allah mengingatkan manusia bahwa para rasul itu
merupakan utusan yang mendapat dukungan dan bantuan dari langit. Mukjizat yang
telah diberikan kepada para nabi mempunyai fungsi yang sama, yaitu memainkan
perananya dan mengatasi kepandaian kaumnya disamping membuktikan bahwa
kekuasaan Allah itu berada diatas segala-galanya.
Suatu umat yang
tinggi pengetahuanya dalam ilmu kedokteran, misalnya tidak wajar dituntun
dengan mukjizat dalam ilmu tata bahasa, begitu pula sebaliknya. Tuntunan
dan pengarahan yang ditunjukan pada suatu umat harus berkaitan dengan
pengetahuan mereka karena Allah tidak akan mengarahkan suatu umat pada hal-hal
yang tidak mereka ketahui. Tujuanya adalah agar tuntunan dan pengarahan Allah
bermakna. Disitulah letak mukjizat yang telah diberikan kepada para
Nabi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan
syarat-syaratnya
a)
I’jaz
(kemukjizatan) adalah menetapkan kelemahan. Kelemahan menurut pengertian umum
ialah ketidak mampuan mengerjakan sesuatu, lawan dari kemampuan. Apabila
kemukjizatan telah terbukti, maka nampaklah kemampuan mukjiz (sesuatu yang
melemahkan). Yang dimaksud dengan i’jaz dalam pembicaraan ini ialah menampakan
kebenaran nabi dalam pengakuannya sebagai seorang Rasul dengan menampakan
kelemaahan orang arab untuk menghadapi mukjizatnya yang abadi, yaitu al-qur’an,
dan kelemahan generasi-generasi sesudah mereka. Dan mukjizat adalah sesuatu hal
luar biasa yang disertai tantangan dan selamat dari perlawanan.[1]
b)
Syarat-syarat
Mu’jizat Ilahi[2]
Syarat-syarat
mu’jizat menurut penjelasan para ulama ada lima, bila kelima-limanya tidak
terpenuhi, maka tidak dinamakan mu’jizat, yaitu:
1)
Mu’jizat adalah
sesuatu yang tidak sanggup dilakukan siapapun selain Allah tuhan sekalian alam.
2)
Tidak sesuai
dengan kebiasaan dan berlawanan dengan hukum alam.
3)
Mu’jizat harus
berupa hal yang dijadikan saksi oleh seorang yang mengaku membawa risalah Ilahi
sebagai bukti atas kebenaran pengakuannya.
4)
Terjadi
bertepatan dengan pengakuan nabi yang mengajak bertanding menggunakan mu’jizat
tersebut.
5)
Tidak ada
seorang pun yang dapat membuktikan dan membandingkan dalam pertandingan
tersebut.
c)
Kebenaran
al-Quran
Dalam hal ini,
salah satu bukti pertama yang ditegaskan dalam al-Quran yaitu:
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَىٰ أَنْ يَأْتُوا
بِمِثْلِ هَٰذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ
لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
Artinya: Katakanlah
(hai muhammad) sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang
serupa al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan mampu membuat yang serupa
dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain. (QS. 17:88).[3]
Pada ayat ini Allah SWT menegaskan mukjizat Alquran dan
keutamaannya, bahwa Alquran itu benar-benar dari Allah dan diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw. Sebagai bukti bahwa Alquran itu dari Allah, bukan buatan
Muhammad sebagaimana yang didakwakan oleh orang-orang kafir Mekah dan ahli
kitab, Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad saw supaya menantang manusia
membuat yang seperti Alquran itu. Allah SWT memerintahkan kepada Nabi Muhammad
agar mengatakan kepada mereka yang mengabaikan dan memandang Alquran itu bukan
wahyu Allah: "Demi Allah, seandainya seluruh manusia dan jin berkumpul,
lalu mereka bermufakat dan berusaha membuat seperti Alquran itu, baik ditinjau
dari segi ketinggian gaya bahasanya, makna dan pelajaran serta
petunjuk-petunjuk yang terdapat di dalamnya, mereka pasti tidak akan sanggup
membuatnya sekalipun di antara mereka terdapat para ahli bahasa. Para ahli ilmu
pengetahuan dan semua mereka itu dapat saling bantu-membantu dalam membuatnya.
Begitu juga
salah satu bukti yang kedua adalah pemberitaan-pemberitaan gaibnya. Fir’aun
yang yang mengejar-ngejar nabi Musa, diceritakan dalam surah yunus pada ayat 92
surah itu, ditegaskan bahwa “badan Fir’aun tersebut akan diselamatkan tuhan
untuk menjadi pelajaran generasi berikut”. Tidak seorangpun orang mengetahui,
karena hal itu telah terjadi sekitar 1200 tahun S.M. Nanti, pada awal abad ke
19 tepatnya pada tahun 1896, ahli purbakala loret menemukan dilembah raja-raja
luxor mesir, satu mumi, yang dari data-data sejarah terbukti bahwa ia adalah
Fir’aun yang bernama Maniptah dan yang pernah mengejar nabi Musa as selain itu,
pada tanggal 08 juli 1908, Elliotsmith mendapat izin dari pemerintah mesir
untuk membuka pembalut Fir’aun tersebut. Apa yang ditemukannya adalah satu
jazat utuh, seperti yang diberitakan al-Quran melalui Nabi yang ummiy (tak
pandai membaca dan menulis itu).[4]
[1]
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi
Ilmu-ilmu al-Quran, Litera Antar Nusa, Jakarta, 2011, hlm. 371.
[2]
Said Agil Husin al-Munawar, Al-qur’an
Membangun Tradisi Keshalehan Hakiki, Ciputat Press, Jakarta, 2002, hlm. 31.
[3] Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Mizan,
Bandung, 1992, hlm. 27.
[4] Ibid; hlm. 31.
0 komentar:
Posting Komentar